Suku Bentong terletak di Propinsi Sulawesi Selatan, dengan populasi 25.000 jiwa, sementara suku Camaplagian terletak di Propinsi Sulawesi Selatan dengan populasi jiwa 30.000 jiwa, sementara suku Duri masih terletak di propinsi yang sama dengan populasi sebanyak 475 jiwa. Untuk suku Enrekang, masih di propinsi yang sama memiliki populasi 50.000 jiwa. Suku Konjo Pegunungan terletak di Propinsi Sulawesi Selatan, dengan populasi sebanyak 150.000 jiwa, untuk Konjo Pesisir jumlah populasi sebanyak 125.000 jiwa, sementara suku Luwu, mimiliki populasi 38.000 jiwa suku Maiwa memiliki pupulasi 50.000 jiwa, Suku Makassar memiliki populasi 2.240.000 jiwa, suku Mamuju berpopulasi 60.000 jiwa, suka Mandar berpopulasi 250.000 jiwa, suku Pannei berpopulasi 250.000 jiwa, suku Pannei memiliki 10.000 huwa dab suku Ulumanda memiliki 31.000 populasi,sementara suku Bugis sendiri yang masih terletak di Propinsi Sulawesi Selatan, yang memiliki populasi paling besar yaitu 3.800.000 jiwa.
Meskipun orang Bugis tidak asing bagi berbagai pihak, termasuk pembaca novel Joseph Conrad, menurut Pelras, orang Bugis sejak berabad-abad lamanya sebenarnya merupakan suku bangsa yang paling tidak dikenal di Nusantara. Karena itu, terjadilah ironi yang lahir dari sedikit pengetahuan yang beredar mengenai mereka, sebagian besar di antaranya merupakan informasi yang keliru.
Salah satu informasi yang keliru itu ialah anggapan bahwa orang Bugis adalah pelaut sejak zaman dulu kala. Anggapan keliru ini bersumber dari banyaknya perahu Bugis yang pada abad ke-19 terlihat berlabuh di berbagai wilayah Nusantara, dari Singapura sampai Papua, dan dari bagian selatan Filipina hingga ke pantai barat laut Australia. Ada pula yang mengatakan orang Bugis pernah berhasil menyeberangi Samudra Hindia sampai Madagaskar .
Anggapan ini, menurut Pelras, adalah keliru karena ”dalam kenyataan sebenarnya orang Bugis pada dasarnya adalah petani”, sedangkan aktivitas maritim mereka baru benar-benar berkembang pada abad ke-18. Dalam hal perahu Phinisi yang terkenal dan dianggap telah berusia ratusan tahun, bentuk dan model akhirnya sebenarnya baru ditemukan antara pengujung abad ke-19 dan dekade 1930-an. Demikian pula halnya dengan predikat bajak laut yang diberikan kepada orang Bugis, sama sekali keliru dan tidak berdasar.
Walau Pelras menyangkal ciri kepelautan manusia Bugis seperti di atas, ia tetap mengakui adanya ciri-ciri khas yang melekat pada manusia Bugis. Salah satu ciri terpenting manusia Bugis ialah ”mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India”. Yang kedua ialah tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka.
Di bidang kesusastraan, orang Bugis juga memiliki tradisinya sendiri, baik sastra lisan maupun tulisan. Catatan yang ditunjukkan oleh Pelras untuk hasil sastra Bugis itu ialah La Galigo. Karya sastra ini merupakan perpaduan antara sastra lisan dan tulisan dan merupakan salah satu epos sastra terbesar di dunia.
Selanjutnya sejak awal abad ke-17 setelah menganut agama Islam, orang Bugis bersama dengan Aceh, Banjar, dan lain-lain dicap sebagai orang Nusantara yang paling kuat identitas keislamannya. Malah, demikian Pelras, orang Bugis menjadikan Islam sebagai bagian integral dan esensial dari adat istiadat dan budaya mereka.
Meskipun demikian, pada saat yang sama, pelbagai peninggalan pra-Islam tetap mereka pertahankan sampai akhir abad ke-20. Salah satu di antara peninggalan pra-Islam yang paling menarik ialah bissu, yaitu sebuah kelompok yang terdiri dari pendeta-pendeta wadam yang masih menjalankan ritual perdukunan serta dianggap dapat berkomunikasi dengan dewa-dewa leluhur.
Ciri-ciri orang Bugis yang berkaitan dengan karakternya dikenal dengan karakter kerasnya dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Untuk mempertahankan kehormatannya, bila perlu, mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Meski demikian, di balik sikap keras itu, orang Bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya.
Dalam kehidupan masyarakat Bugis, interaksi sehari-hari pada umumnya berdasarkan sistem patron-klien, yaitu sistem kelompok setia kawan antara seorang pemimpin dan pengikutnya yang kait-mengait dan menyeluruh. Namun, ikatan kelompok itu tidak melemahkan kepribadiannya. Orang Bugis memiliki sistem hierarkis yang rumit dan kaku, tetapi pada sisi lain prestise dan hasrat berkompetisi untuk mencapai kedudukan sosial amat tinggi, baik melalui jabatan maupun kekayaan, tetap merupakan pendorong utama untuk menggerakkan roda kehidupan sosial kemasyarakatan mereka.
Di dalam melihat ciri-ciri orang Bugis seperti disebut di atas, yang terlihat saling berlawanan itu, Pelras tidak melihatnya sebagai ciri yang negatif, bahkan sebaliknya, ia menyimpulkannya dengan kata-kata ”mungkin ciri khas yang saling berlawanan itulah yang membuat orang Bugis memiliki mobilitas yang sangat tinggi serta memungkinkan mereka menjadi perantau”. Di seluruh Nusantara dapat dijumpai orang Bugis yang sibuk dengan aktivitas pelayaran, perdagangan, pertanian, pembukaan lahan perkebunan di hutan, atau pekerjaan apa saja yang mereka anggap sesuai dengan kondisi ruang dan waktu.
Kebanyakan masyarakat dari Suku Bugis beragama Islam. Dari aspek budaya, suku bugis memiliki bahasa sendiri yang dikenal dengan sebutan `Bahasa Ugi`, yang memiliki tulisan huruf Bugis, yang diucapkan dengan bahasa Bugis sendiri. Huruf ini sudah ada sejak abad ke-12, ketika melebarnya pengaruh Hindu di Indonesia.
Suku Bugis ini suku yang gemar merantai. Jangan terkejut kalau mereka ada di propinsi maluku di Indonesia, baik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, bahkan sampai ke Manca Negara, dalam hal ini Afrika Selatan.
Mungkin itu salah satu sebabnya mereka dikait-kaitkan dengan perahu pinisi, armada pelayaran rakyat, mungkin itu diambil dari salah satu kota yang pernah mereka singgahi, dalam hal ini negara Italia, dengan kotanya Venice. Suku Bugis biasanya mengabadikan nama-nama tempat yang penuh kenangan atau mempunyai kesan istimewa pada perahunya, mereka juga mengidentikan perahunya dengan sejenis ikan yang berenang sangat cepat di laut lepas. Berharap perahunya dapat berjalan/berlari secepat ikan tersebut sehingga banyak pula dari mereka yang menamakan perahunya dengan nama `Pinisi Palari`.
Salah satu kota di luar pulau Sulawesi yang dibangun oleh suku bugis adalah kota Samarinda. Daerah Samarinda terbentuk tatkala sekelompok suku Bugis dari Kerajaan Gowa datang ke Kalimantan Timur untuk mengabdikan diri pada Raja Kutai karena menentang perjanjian Bongaya dan Belanda. Kerajaan Kutai menerima kelompok penentang ini karena diperlukan untuk membantu kerajaan Kutai menentang Belanda. Mereka diijinkan bermukim di hilir Sungai Mahakam, yaitu di Samarinda Seberang, waktu kejadiannya diperkirakan pada tahun 1668.
Ada juga seorang professor yang memiliki teori yang menarik, yang mengatakan bahwa suku bugis berasal dari daerah Lampung, yang terdampar di Gowa (Sulawesi Selatan), setelah mereka lari karena diserang oleh musuh yang menurutnya datang dari India.
Suku Bugis dikenal sebagai masyarakat nelayan, mereka mencari kehidupannya dari laut, mereka mempertahankan hidup dari laut. Jadi sebagian besar masyarakat mereka adalah pelaut, jadi lagu `Nenek Moyangku Seorang Pelaut` cocok untuk mereka.
2 comments:
ini sumbernya dari mana ya? buku apa gitu? makasih..
ini dapet dari macem" artikel, dan sebaca saya dari salah satu artikel, memang ada yang dari buku atau koran.
maaf ya, gak ditulis sumbernya.
Post a Comment